Mungkin pertanyaan di atas, pernah juga melintas dalam pikiran kita,
seperti yang pernah terlintas dalam pikiran seorang santri, pada saat
ustadznya membacakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani
yang berbunyi
:
عن ابن مسعود قال النبي صلى الله عليه وسلم (( النَّظَافَةُ مِنَ الْإِيْمَانِ )) رواه الطبراني في الأوسط
Artinya : ”
Kebersihan itu sebagian dari iman”.
Wajar saja jika di dalam benak santri
tersebut, tersirat pertanyaan seperti itu, karena dalam kehidupan
sehari-hari dia melihat dan menyaksikan, kalau hanya untuk sekedar
menjaga kebersihan ataupun bersih-bersih, seperti mandi, menggosok gigi,
menyapu, mencuci, dan yang lainnya, orang yang tidak beriman kepada
Alloh swt pun (non muslim), suka melakukannya, sedangkan di dalam hadits
tersebut, jelas disebutkan bahwa kebersihan itu sebagian dari iman,
sedang mereka (non muslim) bukanlah termasuk orang yang beriman dan bila
demikian, lalu apa makna sebenarnya yang dimaksud dengan kata
kebersihan di dalam hadits tersebut ?
Dalam menjawab pertanyaan membingungkan
seperti ini, mari kita simak dengan seksama dan penuh ketelitian, salah
satu penjelasan dari seorang ulama salafus sholih, yang berkata bahwa,
yang dimaksud dengan kata النَّظَافَةُ (kebersihan),
yang ada di dalam hadits tersebut, adalah kebersihan menurut syar’i
(istilah agama), bukan kebersihan menurut urfi .
Menurut syar’i, kata النَّظَافَةُ (kebersihan) itu memiliki dua arti, yang pertama adalah an-nadzopatul bathin atau ma’nawi dan yang kedua adalah an-nadzopatul dzohir atau hisi.
Arti (definisi) dari an-nadzopatul bathin adalah seperti yang diuraikan
oleh Syekh Abdul Aziz dalam syarah kitab “Bulughul Marom” karya Imam
Ibnu Hajar Al-Asqolani :
طَهَارَةُ الْقَلْبِ مِنَ الشِّرْكِ عَلَي اللهِ تَعَالَي وَ فِي عِبَادَتِهِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمَذْمُوْمَاتِ
Artinya : membersihkan hati dari segala
bentuk kemusyrikan terhadap Alloh swt, juga membersihkan hati di dalam
beribadah kepadaNya, dan juga membersihkan diri dari berbagai sifat yang
tercela.
Maksud dari membersihkan hati dari segala
bentuk kemusyrikan terhadap Alloh swt dalam pengertian di atas, adalah
membersihkan diri dari segala bentuk aqidah yang fasid (keyakinan yang
rusak dan tercela) terhadap Alloh swt, yang menjurus akan adanya
kemusyrikan ataupun kekufuran, seperti ragu-ragu akan adanya Alloh
ta’ala, ataupun meragukan salah satu sifat yang wajib atas diri-Nya,
seperti meragukan akan adanya sifat Qidam, Baqo, Mukholafatu
lilhawaditsi dan yang lainnya, pada haknya Alloh ta’ala, ataupun
meragukan sebagian janji-janjinya, seperti meragukan adanya hari kiamat,
padang mahsyar, surga, neraka, dan yang lainnya, dan juga masih
termasuk dari sebagian bentuk aqidah yang fasid yang wajib dibuang,
serta dibersihkan dengan pertaubatan, kalau meng-i’tiqadkan bahwa Alloh
swt itu bisa dilihat sewaktu di dunia, atau meng-i’tiqadkan bahwa Alloh
swt itu, tinggal dan bersemayam mendiami arasy, ataupun meng-i’tiqadkan
bahwa Alloh swt itu suka turun (datang) ke dunia dalam perempat malam,
dan itiqad-itiqad fasid yang lainnya yang tak mungkin bisa kita
tuliskan, satu persatunya dalam kesempatan kali ini, insya alloh dalam
kesempatan lain, kita akan bahas permasalahan-permasalahan diatas secara
sesama dengan waktu yang lebih memungkinkan.
Makna kedua yang dimaksud dengan
membersihkan hati dari segala bentuk kemusyrikan terhadap Alloh swt,
dalam pengertian an-nadzopatul bathin di atas adalah membersihkan hati
dari segala bentuk i’tiqad atau keyakinan yang dapat menjerumuskan dalam
jurang kemusyrikan (mempersekutukan ke-esaan Alloh swt), seperti
berkeyakinan bahwa ada kekuatan (suatu perkara yang bisa mendatangkan
kemanfaatan ataupun ke madharatan) selain kekuatan Alloh ta’ala, yang
contohnya, kerap kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya orang
yang pergi ke dukun untuk mencari kesuksesaan dalam pekerjaannya ataupun
usahanya, lalu menyakini kalau apa saja yang diberikan oleh dukun
tersebut kepadanya, baik berupa barang, jampi-jampi ataupun berupa
pantangan, itu bisa mendatangkan kemujuran dan memberikan kesuksesaan di
dalam pekerjaannya, dan kemusyikan di atas adalah termasuk kegolongan
musyrik jali (jelas).
Adapun contoh dalam kemusyikan khofi
(samara) itu seperti orang yang pergi ke dokter atau ke thabib dalam
mencari kesembuhan, yang lalu dia percaya dengan sepenuh hati, bahkan
meyakinkannya, bahwa sesungguhnya obat tersebutlah, yang telah
membuatnya sembuh dan telah menghilangkan penyakit dari dirinya. Dia
lupa kalau sebenarnya Alloh swt lah yang telah menyembuhkannya dari
penyakit, dan obat tersebut hanyalah sekedar syariat ataupun jalan, yang
diberikan oleh Alloh swt untuk kesembuhannya, dengan beri’tiqad seperti
di atas, hakekatnya ia telah lupa bahwa sesungguhnya dia telah
mempersekutukan Alloh swt, dengan obat-obatan yang hina, dan tak ada
harganya sama sekali dibanding dengan ke-esaan Alloh ta’ala.
Contoh selanjutnya dari orang yang
berkeyakinan bahwa ada kekuatan selain kekuatan Alloh ta’ala, adalah
seperti orang yang mempunyai keyakinan, bahwa sesungguhnya yang
mengenyangkan perut itu adalah makanan bukan Alloh swt, atau orang yang
berkeyakinan bahwa sesungguhnya yang menggosongkan kayu bakar itu,
adalah api bukan Alloh swt, mereka lupa bahwa sesungguhnya kalau makanan
dan api itu, hanyal sekedar syariat, karena hakeketnya yang membuat
rasa kenyang di dalam perut dan yang membuat gosong di kayu bakar itu,
adalah Alloh swt. Yang sudah menjadi sunatulloh dan kehendak-Nyalah, ia
(Alloh swt) menciptakan rasa kenyang, bersamaan dengan adanya makanan
yang masuk ke dalam perut, yang sah-sah saja menurut akal kalau Alloh
swt berkehendak, Alloh swt tidak menciptakan rasa kenyang, meskipun ada
makanan yang masuk kedalam perut, sehingga rasa kenyang tidak di temui
meskipun ada makanan di dalam perut, dan begitu pula sebaliknya, sah-sah
saja menurut akal kalau Alloh swt berkehendak, membuat perut tidak
merasa lapar meskipun tidak ada makanan sedikitpun di dalam perut,
seperti yang terjadi pada para malaikat Alloh swt, yang hidup tanpa
mempunyai rasa lapar ataupun kenyang.
Demikian pula dengan api. Api hanya
sekedar syariat, pada hakeketnya yang menggosokan kayu bakar tersebut
adalah Alloh swt, yang hanya dengan kehendak-Nyalah kayu tersebut bisa
gosong. namun sudah menjadi sunatullah, Alloh swt menciptakan gosong di
dalam kayu, bersamaan dengan adanya api yang mengenai kayu tersebut,
yang sah-sah saja jika Alloh swt berkehendak, Alloh menciptakan api di
dalam kayu tersebut, tetapi kayu tersebut tidaklah gosong, seperti yang
terjadi pada Nabi Ibrohim as, pada saat dilempar ke dalam gumpalan api
oleh Raja Nambrud, seperti yang diceritakan di dalam Al-Qur’an “Kami
berfirman Hai api dinginlah dan jadilah keselamatan atas Ibrahim (Q.s.
Al-Ambiya : 69). Yang bahkan diriwayatkan dalam suatu hadist, kalau
sesungguhnya Nabi Ibrohim as justru malah menggigil kedinginan, bukannya
gosong atau terpanggang di dalam gumpalan api tersebut.
Juga masih termasuk dalam bentuk kemusrikan khofi (samar), adalah orang
yang beri’tiqad bahwa Alloh swt, dalam menciptakan sesuatu atau
menurunkan sesuatu, itu membutuhkan akan wasilah (pelantara; alat)
ataupun bantuan, yang contonya seperti orang yang beri’tiqad
(menyakinkan) kalau tidak ada manusia sejak awalnya (kedua orang tua),
maka tentu Alloh swt tak akan mampu untuk menciptakan seorang anak
manusia, karena dalam pikirnya Alloh swt. bisa menciptakan seorang anak
manusia tersebut, apabila ia (Alloh swt) dibantu oleh wasilah (sudah
adanya orang tua anak tesebut terlebih dahulu).
Demikian pula dengan orang yang
beri’tiqad kalau dirinya tidak berkerja, maka Alloh swt tak akan mampu
untuk memberikannya rejeki, karena dalam pikirnya turunnya rejeki itu
membutuhkan akan usaha dari dirinya terlebih dahulu, dan Alloh swt,
tidak akan mampuh untuk memberinya rejeki, kalau dia tidak berkerja
terlebih dahulu, sehingga ia beri’tiqad bahwa sesungguhnya Alloh swt
itu, memerlukan akan bantuan usahanya untuk dapat menurunkan rejeki
kepada dirinya. Kejadian seperti ini, kerap terjadi di kalangan awam
umat muslim, yang berkata ” kalau tidak kerja kamu mau makan apa ? ”
sehingga mereka lupa akan kewajiban dan keagungan Alloh swt, seraya
menghalalkan segala cara dalam mencari makan dan rejekinya.
Orang-orang seperti di atas adalah,
orang-orang yang lupa akan kebesaran Alloh swt., juga akan
sunatulloh-Nya, dan tertipu oleh hukum adat (hukum kebiasaan yang sering
terjadi), sehingga tanpa di sadarinya, sesungguhnya dengan beri’tiqad
seperti itu, mereka telah menyekutukan Alloh swt dengan mahluk-Nya
bahkan juga dengan dirinya, karena sesungguhnya dalam menciptakan
sesuatu seperti menciptakan anak manusia, ataupun menurunkan rejeki
kepada mahluk-Nya, hakekatnya Alloh swt. sama sekali tidak memerlukan
bantuan dari siapa pun, baik bantuan itu berupa wasilah (perantara),
sebab, ataupun yang lainnya, melainkan hanya karena sudah menjadi
sunatulloh (kebiasaan Alloh swt.) dan kehendak-Nya, Alloh swt
menciptakan anak manusia terlahir dari ibu-bapaknya, dan memberikan
rejeki yang berlimpah pada orang yang giat berkerja.
Dengan kata lain bisa saja, kalau Alloh
swt berkehendak, Alloh swt menciptakan anak manusia tanpa ada orang
tuanya, seperti yang terjadi pada Nabi Adam as, siti Hawa yang tak
mempunyai Ibu, Nabi Isa as yang tak mempunyai Ayah atau sebaliknya (tak
ada anak, meskipun ada orang tua), seperti yang terjadi pada sebagian
saudara kita yang tak dianugrahi putra ataupun putri, juga bisa saja
kalau Alloh swt berkehendak, Alloh tak memberikan rejeki yang berlimpah
pada seorang hamba yang giat bekerja, seperti yang terjadi pada seorang
pengusaha yang merugi ataupun pada seorang pedagang yang menjajakan
dagangannya di tengah keramaian tapi tak ada orang yang mau meliriknya,
terlebih untuk membeli dagangannya, dan juga sebaliknya (bisa saja Alloh
swt memberikan rejeki yang berlimpah terhadap hambanya, meskipun dia
tidak berusaha sama sekali, seperti yang terjadi pada banyak wali-wali
Alloh swt, ataupun pada bayi yang baru dilahirkan, dan mahluk-mahluk
hidup yang lainnya).
} penting {
Maksud dari uraian di atas adalah, untuk
menjelaskan akan adanya hukum hakekat (hukum sebenarnya), yang wajib
untuk dii’tiqadkannya di dalam hati setiap mu’min, bukan untuk
mengendorkan usaha Anda, ataupun meniadakan ikhtiar Anda, dan menjadikan
Anda tak meminum obat dikala Anda sakit, sehingga anda hidup tanpa
usaha dan berpangku tangan seraya berkata “yah sudah gimana tuhan saja”
Karena uraian di atas tersebut itu
bertujuan, untuk menegaskan akan kewajiban yang harus dii’tiqadkan
(diyakinkan di dalam hati) seorang mu’min, bukan untuk dikerjakan dalam
syariat ikhtiar kita, karena dalam pekerjaan dzohir (syariat), kita
diperintahkan oleh Alloh swt, untuk tetap berada dalam sunatulloh-Nya,
dan juga diwajibkan untuk berikhtiar dan berusaha, uraian di atas
tersebut, itu bertujuan supaya Anda terbebas dari belitan kemusrikan
yang samar, dengan cara beri’tiqad yang benar, bahwa sesungguhnya tidak
ada kekuatan selain kekuatan Alloh swt, semua ikhtiar kita hanyalah
sebuah syariat, yang hakekat semua berada dalam genggaman-Nya.
Adapun maksud dari “membersihkan hati dalam beribadah kepada-Nya” dalam pengertian an-nadzopatul bathin
di atas, adalah ketulusan hati hanya semata karena Alloh swt (ikhlas),
dalam menjalankan syariat ibadah kepada-Nya, baik itu ibadah makhdhoh
maupun ibadah ghoir makhdhoh, dan juga tidak tercampurinya hati oleh
maksud-maksud yang lain, selain mencari keridhoan-Nya, dalam menjalankan
syariat ibadah kepada-Nya.
Adapun bentuk dari keikhlasan dalam
melaksanakan ibadah kepada-Nya, dalam konteks ibadah makhdhoh (ibadah
yang bentuknya ritual, langsung kepada Alloh swt, seperti sholat, puasa,
dan yang lainnya) adalah dalam menjalankan ibadah tersebut, itu di
dasari oleh rasa ketulusan hati, semata karena Alloh ta’ala dan hanya
bertujuan untuk mencari keridhoan-Nya, bukan untuk mencari martabat,
kewibawaan ataupun penghormatan seperti sebutan baik di depan manusia,
bahkan tidak juga untuk bertujuan mencari kemulian ataupun kekayaan,
baik itu kekayaan dunia maupun kekayaan akherat (masuk surga), melainkan
hanya bertujuan mengikuti perintah-Nya untuk mencari keridhoan-Nya,
karena ibadah adalah suatu perkara yang di perintahkan oleh Alloh swt
kepada semua hamba-Nya, dan menjadi kewajiban bagi setiap hambanya, agar
dapat menggapai ridho-Nya, adapun datangnya penghormatan, kemuliaan,
kekayaan ataupun masuk surga, hakekatnya, itu hanya semata-mata karena
karunia dan anugrah dari Alloh swt, yang ia berikan kepada hamba-Nya,
bukan karena sholat, puasa ataupun amalan yang lainnya, yang datang dari
seorang hamba, seperti yang telah disampaikan oleh Rasulloh saw “tak
akan masuk seorang hamba kedalam surga-Nya oleh karena amalnya,
melainkan karena karunia dan anugrah-Nyalah ia masuk kedalam surga (HR
Mutafaq alaih).
Begitu pula dengan ibadah kepada-Nya
dalam konteks ibadah ghoir makhdhoh (ibadah yang bentuknya bukan ritual
langsung kepada Alloh swt, melainkan mempunyai hubungan dengan sesama
manusia, ataupun dengan makluk-Nya yang lain, seperti bersedekah,
bekerja untuk menafkahi keluarga, berbuat baik kepada orang tua, dan
yang lainnya) itu juga sama, dalam menjalankan hal tersebut, harus di
dasari dengan rasa ketulusan hati, semata-mata karena Alloh swt, bukan
di dasari oleh hal-hal yang lain ataupun tercampuri oleh maksud-maksud
yang lain, selain maksud menjalankan perintah-Nya dan mengharap
ridho-Nya, karena hal tersebut (ibadah ghoir makhdhoh) itu juga
merupakan suatu perkara yang diperintahkan oleh Alloh swt kepada
hamba-Nya, yang menjadi kewajiban bagi setiap hamba-Nya dan menjadi
salah satu jalan untuk menggapai ridho-Nya, jadi di saat dia bekerja, ia
bekerja dengan di dasari oleh niat karena Alloh swt dan untuk
menjalankan perintah-Nya, bukan bekerja untuk mencari makan ataupun
kekayaan, melainkan karena Alloh swt mewajibkan dan memerintahkan kepada
hamba-Nya, untuk bekerja dan menafkahi keluarganya, Begitu pula dengan
bersedekah atau berbuat baik pada orang tua, dan yang lainnya, itu juga
di dasari oleh niat karena Alloh swt dan menjalankan perintah-Nya, bukan
di dasari oleh sekedar rasa kasihan, ataupun karena ingin jadi anak
nomor satu, melainkan karena Alloh swt mewajibkan dan memerintahkan
untuk bersedekah dan berbuat baik kepada orang tua.
Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang
membersihkan hati dalam beribadah kepada-Nya, baik itu ibadah makhdhoh
maupun ghoir makhdhoh, adalah orang yang dalam melaksanakan amal ibadah
kepada-Nya, itu hanya di dasari oleh karena semata-mata melaksanakan
perintah Alloh swt, dan mencari keridhoan-Nya, tidak di dasari ataupun
dicampuri oleh maksud lain, selain Alloh ta’ala, seperti ungkapan yang
diutarakan oleh salah seorang ahli ma’rifat pada saat ia ditanya oleh
salah seorang awam, mengapa anda berdoa? juga mengapa anda bekerja?
bukankah Alloh swt telah menentukan dan menanggung akan semua rejeki
makluknya! dan mengapa anda sholat? bukankah masuk surga itu karena
rahmat dan ridho-Nya! Bukan karena sholat ataupun amal yang anda
kerjakan! lalu ulama itu pun menjawab betul apa yang kamu ucapakan,
bahwa sesungguhnya rejeki itu, telah ditentukan dan masuk surga itu
bukan karena sholat ataupun amal, yang kita kerjakan, melainkan karena
rahmat dan ridho-Nya, tetapi doaku, bekerjaku, sholatku dan semua
amalanku yang aku lakukan, itu aku kerjakan karena untuk, mentaati dan
menjalankan, apa yang Alloh swt perintahkan kepada diriku, seandainya
saja Alloh swt tidak memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berdoa
kepada-Nya ataupun bekerja, dan tidak memerintahkan sholat ataupun
ibadah yang lainnya, maka niscaya aku pun tak akan berdoa, bekerja dan
tak akan melaksanakan sholat karena-Nya, ketahuilah sekalipun ia (Alloh
swt) menghendaki kemadhoratan dan kesulitan atas diriku, aku akan tetap
selalu menyembah-Nya dan menjalankan perintah-Nya, karena mentaati
perintah-Nya sudah menjadi kewajiban bagi ku sebagai hamba-Nya.
Keikhlasan seperti diatas adalah
keikhlasan yang memiliki martabat paling tinggi, yang menjadikan seorang
hamba benar-benar murni dan tulus, hanya semata karena Alloh swt, dalam
menjalankan ibadah kepada-Nya, tak mempunyai pamrih sedikitpun atas
ibadahnya, adapun janji-janji Alloh swt atas ibadahnya, ia serahkan dan
kepada Alloh swt dan tak memikirkannya, karena ia tahu bahwa Alloh swt
tak akan mengingkari janji, jadi yang ia pikirkan adalah kewajibannya
kepada Alloh swt, dan keikhlasan seperti ini adalah keikhlasan yang
dimaksud di dalam ayat :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh
kecuali untuk menyembah Allah swt dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam agama yang lurus (Q.s.Al-Bayinah : 5) seperti yang dijelaskan oleh
para ulama ahli tafsir, yang salah satunya adalah Imam Qurthubi.
Adapun yang dimaksud dengan “membersihkan
diri dari berbagai sifat yang tercela” dalam pengertian an-nadzopatul
bathin di atas, adalah membersihkan hati dari berbagai sifat yang dapat
meruksak keikhlasan dalam beribadah, atau sifat yang dapat meruksak
sifat kehambaannya dan keimanannya kepada Alloh swt, seperti riya (ingin
dilihat) ataupun sum’ah (ingin di dengar; disebut-sebut) dalam
beribadah, juga seperti ujub (merasa diri lebih hebat), atau takabur
(tak mau menerima hak) dalam beribadah, ataupun hasud pada seorang
mu’min, atas nikmat yang Alloh swt berikan kepadanya dan sifat-sifat
yang lainnya yang dicela oleh Alloh swt, yang tak mungkin dapat di
tuliskan dalam kesempatan ini satu persatunya.
Adapun Arti (definisi) dari
an-nadzopatul dzohir atau
hisi adalah :
ونظافة الحسي هي ارتفاع الحدث، وما في معناه، وزوال الخَبث لله تعالي
Artinya : membersikan diri dari hadats ataupun sebangsanya (junub),
ataupun membersihkan kotoran dengan niat karena Alloh ta’ala.
Maksud dari membersihkan diri dari hadats
adalah dengan berwudhu, dan yang dimaksud dengan membersihkan diri dari
sebangsanya seperti junub, haid, dan yang lainnya adalah mandi besar
ataupun Adus, adapun yang di maksud dengan membersihkan kotoran disini
adalah kebersihan secara umum ataupun bentuk dari bersih-bersih
(menghilangkan) kotoran, sampah, ataupun sejenisnya, baik yang menempel
di badan ataupun yang berada di luar badan seperti menyapu, mencuci, dan
yang lain-lainnya, dengan dasar niat karena Alloh swt, bukan sekedar
niat bersih-bersih saja, dan hal ini (bersih-bersih dengan niat karena
Alloh swt) adalah perkara yang dimaksud dalam hadits “menyingkirkan
duri dari jalan adalah sebagian dari iman” (HR Muslim)
Dan bersih-bersih yang seperti inilah
(bersih-bersih yang didasari dengan niat karena Alloh swt) bersih-bersih
yang dimaksud dalam hadits “kebersihan itu sebagian dari iman”, karena
dengan adanya niat lillahi ta’ala, inilah yang membedakan antara
kebersihan yang dilakukan oleh seorang mu’min dan non mu’mim menurut
syari, non mu’mim dalam melakukan kebersihannya itu tidaklah mempunyai
niat lillahi ta’ala, apalagi niat ikhlas karena perintah Alloh ta’ala,
karena jangankan untuk menyelipkan niat ikhlas lillahi ta’ala, percaya
akan Alloh swt pun mereka tidak, bahkan mereka mengikarinya dan
mengkufurinya, jadi bersih-bersihnya mereka itu hanya sekedar untuk
kerapihan ataupun kesehatan saja, dan hal seperti ini (pekerjaan yang
tidak di dasari dengan niat karena Alloh swt), merupakan perkara yang
tak akan di akui sebagai amal oleh Alloh swt, apalagi untuk diterima dan
di balas dengan ganjaran, karena diakuinya (syahnya) sebuah pekerjaan,
sebagai sebuah amal di hadapan Alloh swt, itu apabila pekerjaan tersebut
di dasari dengan niat lillahi ta’ala, seperti yang disampaikan oleh
Rosulloh saw “tak ada amal, bagi orang yang tak mempunyai niat (llilahi
ta’ala) dalam pekerjaannya” (HR Muslim).
Berbeda dengan orang mu’min yang dalam
bersih-bersihnya, mereka mempunyai niat lillahi ta’ala, yang dengan
adanya niat lillahi ta’ala di dalam dirinya, itu menunjukan bahwa mereka
memiliki keimanan terhadap Alloh swt, karena bagaimana mereka bisa
mempunyai niat lillahi ta’ala, kalau mereka tidak beriman kepada Alloh
swt, sehingga dengan demikian, bersih-bersihnya seorang mu’min tersebut,
yang di dasari dengan niat lillahi ta’ala, dan dibarengi dengan
keikhlasan karena Alloh swt, itu diakui sebagian dari imannya, dan juga
dijanjikan akan dibalas dengan ganjaran, karena bersih-bersih itu
merupakan salah satu bentuk dari ibadah ghoir makhdhoh, yang sudah pasti
apabila didasari dengan niat ikhlas lillahi ta’ala, maka akan
menghasilkan ganjaran dari Alloh swt, tetapi berbeda jika bersih-bersih
tersebut tidak dibarengi dengan niat ikhlas lillahi ta’ala, meskipun
bersih-bersih tersebut timbul dari seorang mu’min, maka bersih-bersih
tersebut, tidak akan menghasilkan ganjaran, karena Alloh swt tidak akan
menerima dan memberi ganjaran atas amal seorang mu’min, baik itu amal
berupa sholat, zakat, puasa, atau yang lainnya termasuk bersih-bersih,
apabila tidak ada keikhlasan terhadap-Nya, saat di dalam amal tersebut,
seperti yang disampaikan oleh Rosulalloh saw “sesungguhnya Alloh swt
tak akan menerima amal dari kalian kecuali amal tersebut di dasari
dengan keikhlasan terhadap-Nya” (HR mutafaq alaih).
Dan akhirnya bisa kita simpulkan dari
penjelasan di atas, bahwa sesungguhnya kalau kebersihan itu, memang
sebagian dari iman, karena yang di maksud dengan “kebersihan” dalam
hadits di atas adalah kebersihan menurut syar’i, yang mempunyai
membersihkan hati dari segala bentuk kemusyrikan terhadap Alloh swt,
juga membersihkan hati dalam beribadah kepadaNya, dan juga membersihkan
diri dari berbagai sifat yang tercela (an-nadzopatul bathin) ataupun
membersikan diri dari hadats ataupun sebangsanya (junub), ataupun
membersihkan kotoran dengan niat karena Alloh ta’ala (an-nadzopatul
dzohir) bukan kebersihan menurut urfi yang mempunyai artia cuma sekedar
bersih-bersih saja. Dan kebersihan seperti inilah (kebersihan menurut
syar’i), baik itu dalam arti an-nadzopatul bathin ataupun an-nadzopatul
dzohir, adalah maksud dari kata “kebersihan” yang terdapat dalam salah
satu hadits Rosulalloh saw yang lain yang berbunyi :
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ الحديث (رواه مسلم).
Artinya : kebersihan merupakan salah satu juz dari iman (HR Muslim),
Dan an-nadzopatul bathin (kebersihan batin) ini lebih utama dari
an-nadzopatul dzohir (kebersihan dzohir) Wallohu a’lamu bish-showab.
https://darurabshor.wordpress.com/apakah-benar-kebersihan-itu-sebagian-dari-iman