Sabtu, 10 Oktober 2015

Apakah Benar Kebersihan itu Sebagian dari Iman?

Mungkin pertanyaan di atas, pernah juga melintas dalam pikiran kita, seperti yang pernah terlintas dalam pikiran seorang santri, pada saat ustadznya membacakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani yang berbunyi:    
عن ابن مسعود قال النبي صلى الله عليه وسلم  (( النَّظَافَةُ مِنَ الْإِيْمَانِ )) رواه الطبراني في الأوسط
Artinya : ”Kebersihan itu sebagian dari iman”.
Wajar saja jika di dalam benak santri tersebut, tersirat pertanyaan seperti itu, karena dalam kehidupan sehari-hari dia melihat dan menyaksikan, kalau hanya untuk sekedar menjaga kebersihan ataupun bersih-bersih, seperti mandi, menggosok gigi, menyapu, mencuci, dan yang lainnya, orang yang tidak beriman kepada Alloh swt pun (non muslim), suka melakukannya, sedangkan di dalam hadits tersebut, jelas disebutkan bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, sedang mereka (non muslim) bukanlah termasuk orang yang beriman dan bila demikian, lalu apa makna sebenarnya yang dimaksud dengan kata kebersihan di dalam hadits tersebut ?
Dalam menjawab pertanyaan membingungkan seperti ini, mari kita simak dengan seksama dan penuh ketelitian, salah satu penjelasan dari seorang ulama salafus sholih, yang berkata bahwa, yang dimaksud dengan kata  النَّظَافَةُ  (kebersihan), yang ada di dalam hadits tersebut, adalah kebersihan menurut syar’i (istilah agama), bukan kebersihan menurut urfi .
Menurut syar’i, kata النَّظَافَةُ (kebersihan) itu memiliki dua arti, yang pertama adalah an-nadzopatul bathin atau ma’nawi dan yang kedua adalah an-nadzopatul dzohir atau hisi. Arti (definisi) dari an-nadzopatul bathin adalah seperti yang diuraikan oleh Syekh Abdul Aziz dalam syarah kitab “Bulughul Marom” karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani :
طَهَارَةُ الْقَلْبِ مِنَ الشِّرْكِ عَلَي اللهِ تَعَالَي وَ فِي عِبَادَتِهِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمَذْمُوْمَاتِ
Artinya : membersihkan hati dari segala bentuk kemusyrikan terhadap Alloh swt, juga membersihkan hati di dalam beribadah kepadaNya, dan juga membersihkan diri dari berbagai sifat yang tercela.
Maksud dari membersihkan hati dari segala bentuk kemusyrikan terhadap Alloh swt dalam pengertian di atas, adalah membersihkan diri dari segala bentuk aqidah yang fasid (keyakinan yang rusak dan tercela) terhadap Alloh swt, yang menjurus akan adanya kemusyrikan ataupun kekufuran, seperti ragu-ragu akan adanya Alloh ta’ala, ataupun meragukan salah satu sifat yang wajib atas diri-Nya, seperti meragukan akan adanya sifat Qidam, Baqo, Mukholafatu lilhawaditsi dan yang lainnya, pada haknya Alloh ta’ala, ataupun meragukan sebagian janji-janjinya, seperti meragukan adanya hari kiamat, padang mahsyar, surga, neraka, dan yang lainnya, dan juga masih termasuk dari sebagian bentuk aqidah yang fasid yang wajib dibuang, serta dibersihkan dengan pertaubatan, kalau meng-i’tiqadkan bahwa Alloh swt itu bisa dilihat sewaktu di dunia, atau meng-i’tiqadkan bahwa Alloh swt itu, tinggal dan bersemayam mendiami arasy, ataupun meng-i’tiqadkan bahwa Alloh swt itu suka turun (datang) ke dunia dalam perempat malam, dan itiqad-itiqad fasid yang lainnya yang tak mungkin bisa kita tuliskan, satu persatunya dalam kesempatan kali ini, insya alloh dalam kesempatan lain, kita akan bahas permasalahan-permasalahan diatas secara sesama dengan waktu yang lebih memungkinkan.
Makna kedua yang dimaksud dengan membersihkan hati dari segala bentuk kemusyrikan terhadap Alloh swt, dalam pengertian an-nadzopatul bathin di atas adalah membersihkan hati dari segala bentuk i’tiqad atau keyakinan yang dapat menjerumuskan dalam jurang kemusyrikan (mempersekutukan ke-esaan Alloh swt), seperti berkeyakinan bahwa ada kekuatan (suatu perkara yang bisa mendatangkan kemanfaatan ataupun ke madharatan) selain kekuatan Alloh ta’ala, yang contohnya, kerap kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya orang yang pergi ke dukun untuk mencari kesuksesaan dalam pekerjaannya ataupun usahanya, lalu menyakini kalau apa saja yang diberikan oleh dukun tersebut kepadanya, baik berupa barang, jampi-jampi ataupun berupa pantangan, itu bisa mendatangkan kemujuran dan memberikan kesuksesaan di dalam pekerjaannya, dan kemusyikan di atas adalah termasuk kegolongan musyrik jali (jelas).
Adapun contoh dalam kemusyikan khofi (samara) itu seperti orang yang pergi ke dokter atau ke thabib dalam mencari kesembuhan, yang lalu dia percaya dengan sepenuh hati, bahkan meyakinkannya, bahwa sesungguhnya obat tersebutlah, yang telah membuatnya sembuh dan telah menghilangkan penyakit dari dirinya. Dia lupa kalau sebenarnya Alloh swt lah yang telah menyembuhkannya dari penyakit, dan obat tersebut hanyalah sekedar syariat ataupun jalan, yang diberikan oleh Alloh swt untuk kesembuhannya, dengan beri’tiqad seperti di atas, hakekatnya ia telah lupa bahwa sesungguhnya dia telah mempersekutukan Alloh swt, dengan obat-obatan yang hina, dan tak ada harganya sama sekali dibanding dengan ke-esaan Alloh ta’ala.
Contoh selanjutnya dari orang yang berkeyakinan bahwa ada kekuatan selain kekuatan Alloh ta’ala, adalah seperti orang yang mempunyai keyakinan, bahwa sesungguhnya yang mengenyangkan perut itu adalah makanan bukan Alloh swt, atau orang yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya yang menggosongkan kayu bakar itu, adalah api bukan Alloh swt, mereka lupa bahwa sesungguhnya kalau makanan dan api itu, hanyal sekedar syariat, karena hakeketnya yang membuat rasa kenyang di dalam perut dan yang membuat gosong di kayu bakar itu, adalah Alloh swt. Yang sudah menjadi sunatulloh dan kehendak-Nyalah, ia (Alloh swt) menciptakan rasa kenyang, bersamaan dengan adanya makanan yang masuk ke dalam perut, yang sah-sah saja menurut akal kalau Alloh swt berkehendak, Alloh swt tidak menciptakan rasa kenyang, meskipun ada makanan yang masuk kedalam perut, sehingga rasa kenyang tidak di temui meskipun ada makanan di dalam perut, dan begitu pula sebaliknya, sah-sah saja menurut akal kalau Alloh swt berkehendak, membuat perut tidak merasa lapar meskipun tidak ada makanan sedikitpun di dalam perut, seperti yang terjadi pada para malaikat Alloh swt, yang hidup tanpa mempunyai rasa lapar ataupun kenyang.
Demikian pula dengan api. Api hanya sekedar syariat, pada hakeketnya yang menggosokan kayu bakar tersebut adalah Alloh swt, yang hanya dengan kehendak-Nyalah kayu tersebut bisa gosong. namun sudah menjadi sunatullah, Alloh swt menciptakan gosong di dalam kayu, bersamaan dengan adanya api yang mengenai kayu tersebut, yang sah-sah saja jika Alloh swt berkehendak, Alloh menciptakan api di dalam kayu tersebut, tetapi kayu tersebut tidaklah gosong, seperti yang terjadi pada Nabi Ibrohim as, pada saat dilempar ke dalam gumpalan api oleh Raja Nambrud, seperti yang diceritakan di dalam Al-Qur’an  “Kami berfirman Hai api dinginlah dan jadilah keselamatan atas Ibrahim (Q.s. Al-Ambiya : 69). Yang bahkan diriwayatkan dalam suatu hadist, kalau sesungguhnya Nabi Ibrohim as justru malah menggigil kedinginan, bukannya gosong atau terpanggang di dalam gumpalan api tersebut.
Juga masih termasuk dalam bentuk kemusrikan khofi (samar), adalah orang yang beri’tiqad bahwa Alloh swt, dalam menciptakan sesuatu atau menurunkan sesuatu, itu membutuhkan akan wasilah (pelantara; alat) ataupun bantuan, yang contonya seperti orang yang beri’tiqad (menyakinkan) kalau tidak ada manusia sejak awalnya (kedua orang tua), maka tentu Alloh swt tak akan mampu untuk menciptakan seorang anak manusia, karena dalam pikirnya Alloh swt. bisa menciptakan seorang anak manusia tersebut, apabila ia (Alloh swt) dibantu oleh wasilah (sudah adanya orang tua anak tesebut terlebih dahulu).
Demikian pula dengan orang yang beri’tiqad kalau dirinya tidak berkerja, maka Alloh swt tak akan mampu untuk memberikannya rejeki, karena dalam pikirnya turunnya rejeki itu membutuhkan akan usaha dari dirinya terlebih dahulu, dan Alloh swt, tidak akan mampuh untuk memberinya rejeki, kalau dia tidak berkerja terlebih dahulu, sehingga ia beri’tiqad bahwa sesungguhnya Alloh swt itu, memerlukan akan bantuan usahanya untuk dapat menurunkan rejeki kepada dirinya. Kejadian seperti ini, kerap terjadi di kalangan awam umat muslim, yang berkata ” kalau tidak kerja kamu mau makan apa ?  ” sehingga mereka lupa akan kewajiban dan keagungan Alloh swt, seraya menghalalkan segala cara dalam mencari makan dan rejekinya.
Orang-orang seperti di atas adalah, orang-orang yang lupa akan kebesaran Alloh swt., juga akan sunatulloh-Nya, dan tertipu oleh hukum adat (hukum kebiasaan yang sering terjadi), sehingga tanpa di sadarinya, sesungguhnya dengan beri’tiqad seperti itu, mereka telah menyekutukan Alloh swt dengan mahluk-Nya bahkan juga dengan dirinya, karena sesungguhnya dalam menciptakan sesuatu seperti menciptakan anak manusia, ataupun menurunkan rejeki kepada mahluk-Nya, hakekatnya Alloh swt. sama sekali tidak memerlukan bantuan dari siapa pun, baik bantuan itu berupa wasilah (perantara), sebab, ataupun yang lainnya, melainkan hanya karena sudah menjadi sunatulloh (kebiasaan Alloh swt.) dan kehendak-Nya, Alloh swt menciptakan anak manusia terlahir dari ibu-bapaknya, dan memberikan rejeki yang berlimpah pada orang yang giat berkerja.
Dengan kata lain bisa saja, kalau Alloh swt berkehendak, Alloh swt menciptakan anak manusia tanpa ada orang tuanya, seperti yang terjadi pada Nabi Adam as, siti Hawa yang tak mempunyai Ibu, Nabi Isa as yang tak mempunyai Ayah atau sebaliknya (tak ada anak, meskipun ada orang tua), seperti yang terjadi pada sebagian saudara kita yang tak dianugrahi putra ataupun putri, juga bisa saja kalau Alloh swt berkehendak, Alloh tak memberikan rejeki yang berlimpah pada seorang hamba yang giat bekerja, seperti yang terjadi pada seorang pengusaha yang merugi ataupun pada seorang pedagang yang menjajakan dagangannya di tengah keramaian tapi tak ada orang yang mau meliriknya, terlebih untuk membeli dagangannya, dan juga sebaliknya (bisa saja Alloh swt memberikan rejeki yang berlimpah terhadap hambanya, meskipun dia tidak berusaha sama sekali, seperti yang terjadi pada banyak wali-wali Alloh swt, ataupun pada bayi yang baru dilahirkan, dan mahluk-mahluk hidup yang lainnya).
} penting {
 Maksud dari uraian di atas adalah, untuk menjelaskan akan adanya hukum hakekat (hukum sebenarnya), yang wajib untuk dii’tiqadkannya di dalam hati setiap mu’min, bukan untuk mengendorkan usaha Anda, ataupun meniadakan ikhtiar Anda, dan menjadikan Anda tak meminum obat dikala Anda sakit, sehingga anda hidup tanpa usaha dan berpangku tangan seraya berkata “yah sudah gimana tuhan saja”
Karena uraian di atas tersebut itu bertujuan, untuk menegaskan akan kewajiban yang harus dii’tiqadkan (diyakinkan di dalam hati) seorang mu’min, bukan untuk dikerjakan dalam syariat ikhtiar kita, karena dalam pekerjaan dzohir (syariat), kita diperintahkan oleh Alloh swt, untuk tetap berada dalam sunatulloh-Nya, dan juga diwajibkan untuk berikhtiar dan berusaha, uraian di atas tersebut, itu bertujuan supaya Anda terbebas dari belitan kemusrikan yang samar, dengan cara beri’tiqad yang benar, bahwa sesungguhnya tidak ada kekuatan selain kekuatan Alloh swt, semua ikhtiar kita hanyalah sebuah syariat, yang hakekat semua berada dalam genggaman-Nya.
Adapun maksud dari “membersihkan hati dalam beribadah kepada-Nya” dalam pengertian an-nadzopatul bathin di atas, adalah ketulusan hati hanya semata karena Alloh swt (ikhlas), dalam menjalankan syariat ibadah kepada-Nya, baik itu ibadah makhdhoh maupun ibadah ghoir makhdhoh, dan juga tidak tercampurinya hati oleh maksud-maksud yang lain, selain mencari keridhoan-Nya, dalam menjalankan syariat ibadah kepada-Nya.
Adapun bentuk dari keikhlasan dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya, dalam konteks ibadah makhdhoh (ibadah yang bentuknya ritual, langsung kepada Alloh swt, seperti sholat, puasa, dan yang lainnya) adalah dalam menjalankan ibadah tersebut, itu di dasari oleh rasa ketulusan hati, semata karena Alloh ta’ala dan hanya bertujuan untuk mencari keridhoan-Nya, bukan untuk mencari martabat, kewibawaan ataupun penghormatan seperti sebutan baik di depan manusia, bahkan tidak juga untuk bertujuan mencari kemulian ataupun kekayaan, baik itu kekayaan dunia maupun kekayaan akherat (masuk surga), melainkan hanya bertujuan mengikuti perintah-Nya untuk mencari keridhoan-Nya, karena ibadah adalah suatu perkara yang di perintahkan oleh Alloh swt kepada semua hamba-Nya, dan menjadi kewajiban bagi setiap hambanya, agar dapat menggapai ridho-Nya, adapun datangnya penghormatan, kemuliaan, kekayaan ataupun masuk surga, hakekatnya, itu hanya semata-mata karena karunia dan anugrah dari Alloh swt, yang ia berikan kepada hamba-Nya, bukan karena sholat, puasa ataupun amalan yang lainnya, yang datang dari seorang hamba, seperti yang telah disampaikan oleh Rasulloh saw “tak akan masuk seorang hamba kedalam surga-Nya oleh karena amalnya, melainkan karena karunia dan anugrah-Nyalah ia masuk kedalam surga (HR Mutafaq alaih).
Begitu pula dengan ibadah kepada-Nya dalam konteks ibadah ghoir makhdhoh (ibadah yang bentuknya bukan ritual langsung kepada Alloh swt, melainkan mempunyai hubungan dengan sesama manusia, ataupun dengan makluk-Nya yang lain, seperti bersedekah, bekerja untuk menafkahi keluarga, berbuat baik kepada orang tua, dan yang lainnya) itu juga sama, dalam menjalankan hal tersebut, harus di dasari dengan rasa ketulusan hati, semata-mata karena Alloh swt, bukan di dasari oleh hal-hal yang lain ataupun tercampuri oleh maksud-maksud yang lain, selain maksud menjalankan perintah-Nya dan mengharap ridho-Nya, karena hal tersebut (ibadah ghoir makhdhoh) itu juga merupakan suatu perkara yang diperintahkan oleh Alloh swt kepada hamba-Nya, yang menjadi kewajiban bagi setiap hamba-Nya dan menjadi salah satu jalan untuk menggapai ridho-Nya, jadi di saat dia bekerja, ia bekerja dengan di dasari oleh niat karena Alloh swt dan untuk menjalankan perintah-Nya, bukan bekerja untuk mencari makan ataupun kekayaan, melainkan karena Alloh swt mewajibkan dan memerintahkan kepada hamba-Nya, untuk bekerja dan menafkahi keluarganya, Begitu pula dengan bersedekah atau berbuat baik pada orang tua, dan yang lainnya, itu juga di dasari oleh niat karena Alloh swt dan menjalankan perintah-Nya, bukan di dasari oleh sekedar rasa kasihan, ataupun karena ingin jadi anak nomor satu, melainkan karena Alloh swt mewajibkan dan memerintahkan untuk bersedekah dan berbuat baik kepada orang tua.
Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang membersihkan hati dalam beribadah kepada-Nya, baik itu ibadah makhdhoh maupun ghoir makhdhoh, adalah orang yang dalam melaksanakan amal ibadah kepada-Nya, itu hanya di dasari oleh karena semata-mata melaksanakan perintah Alloh swt, dan mencari keridhoan-Nya, tidak di dasari ataupun dicampuri oleh maksud lain, selain Alloh ta’ala, seperti ungkapan yang diutarakan oleh salah seorang ahli ma’rifat pada saat ia ditanya oleh salah seorang awam, mengapa anda berdoa? juga mengapa anda bekerja? bukankah Alloh swt telah menentukan dan menanggung akan semua rejeki makluknya! dan mengapa anda sholat? bukankah masuk surga itu karena rahmat dan ridho-Nya! Bukan karena sholat ataupun amal yang anda kerjakan! lalu ulama itu pun menjawab betul apa yang kamu ucapakan, bahwa sesungguhnya rejeki itu, telah ditentukan dan masuk surga itu bukan karena sholat ataupun amal, yang kita kerjakan, melainkan karena rahmat dan ridho-Nya, tetapi doaku, bekerjaku, sholatku dan semua amalanku yang aku lakukan, itu aku kerjakan karena untuk, mentaati dan menjalankan, apa yang Alloh swt perintahkan kepada diriku, seandainya saja Alloh swt tidak memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya ataupun bekerja, dan tidak memerintahkan sholat ataupun ibadah yang lainnya, maka niscaya aku pun tak akan berdoa, bekerja dan tak akan melaksanakan sholat karena-Nya, ketahuilah sekalipun ia (Alloh swt) menghendaki kemadhoratan dan kesulitan atas diriku, aku akan tetap selalu menyembah-Nya dan menjalankan perintah-Nya, karena mentaati perintah-Nya sudah menjadi kewajiban bagi ku sebagai hamba-Nya.
Keikhlasan seperti diatas adalah keikhlasan yang memiliki martabat paling tinggi, yang menjadikan seorang hamba benar-benar murni dan tulus, hanya semata karena Alloh swt, dalam menjalankan ibadah kepada-Nya, tak mempunyai pamrih sedikitpun atas ibadahnya, adapun janji-janji Alloh swt atas ibadahnya, ia serahkan dan kepada Alloh swt dan tak memikirkannya, karena ia tahu bahwa Alloh swt tak akan mengingkari janji, jadi yang ia pikirkan adalah kewajibannya kepada Alloh swt, dan keikhlasan seperti ini adalah keikhlasan yang dimaksud di dalam ayat :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah swt dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus (Q.s.Al-Bayinah : 5) seperti yang dijelaskan oleh para ulama ahli tafsir, yang salah satunya adalah Imam Qurthubi.
Adapun yang dimaksud dengan “membersihkan diri dari berbagai sifat yang tercela” dalam pengertian an-nadzopatul bathin di atas, adalah membersihkan hati dari berbagai sifat yang dapat meruksak keikhlasan dalam beribadah, atau sifat yang dapat meruksak sifat kehambaannya dan keimanannya kepada Alloh swt, seperti riya (ingin dilihat) ataupun sum’ah (ingin di dengar; disebut-sebut) dalam beribadah, juga seperti ujub (merasa diri lebih hebat), atau takabur (tak mau menerima hak) dalam beribadah, ataupun hasud pada seorang mu’min, atas nikmat yang Alloh swt berikan kepadanya dan sifat-sifat yang lainnya yang dicela oleh Alloh swt, yang tak mungkin dapat di tuliskan dalam kesempatan ini satu persatunya.
Adapun Arti (definisi) dari an-nadzopatul dzohir atau hisi adalah :
ونظافة الحسي هي ارتفاع الحدث، وما في معناه، وزوال الخَبث لله تعالي
Artinya : membersikan diri dari hadats ataupun sebangsanya (junub), ataupun membersihkan kotoran dengan niat karena Alloh ta’ala.
Maksud dari membersihkan diri dari hadats adalah dengan berwudhu, dan yang dimaksud dengan membersihkan diri dari sebangsanya seperti junub, haid, dan yang lainnya adalah mandi besar ataupun Adus, adapun yang di maksud dengan membersihkan kotoran disini adalah kebersihan secara umum ataupun bentuk dari bersih-bersih (menghilangkan) kotoran, sampah, ataupun sejenisnya, baik yang menempel di badan ataupun yang berada di luar badan seperti menyapu, mencuci, dan yang lain-lainnya, dengan dasar niat karena Alloh swt, bukan sekedar niat bersih-bersih saja, dan hal ini (bersih-bersih dengan niat karena Alloh swt) adalah perkara yang dimaksud dalam hadits  “menyingkirkan duri dari jalan adalah sebagian dari iman”  (HR Muslim)
Dan bersih-bersih yang seperti inilah (bersih-bersih yang didasari dengan niat karena Alloh swt) bersih-bersih yang dimaksud dalam hadits “kebersihan itu sebagian dari iman”, karena dengan adanya niat lillahi ta’ala, inilah yang membedakan antara kebersihan yang dilakukan oleh seorang mu’min dan non mu’mim menurut syari, non mu’mim dalam melakukan kebersihannya itu tidaklah mempunyai niat lillahi ta’ala, apalagi niat ikhlas karena perintah Alloh ta’ala, karena jangankan untuk menyelipkan niat ikhlas lillahi ta’ala, percaya akan Alloh swt pun mereka tidak, bahkan mereka mengikarinya dan mengkufurinya, jadi bersih-bersihnya mereka itu hanya sekedar untuk kerapihan ataupun kesehatan saja, dan hal seperti ini (pekerjaan yang tidak di dasari dengan niat karena Alloh swt), merupakan perkara yang tak akan di akui sebagai amal oleh Alloh swt, apalagi untuk diterima dan di balas dengan ganjaran, karena diakuinya (syahnya) sebuah pekerjaan, sebagai sebuah amal di hadapan Alloh swt, itu apabila pekerjaan tersebut di dasari dengan niat lillahi ta’ala, seperti yang disampaikan oleh Rosulloh saw “tak ada amal, bagi orang yang tak mempunyai niat (llilahi ta’ala) dalam pekerjaannya” (HR Muslim).
Berbeda dengan orang mu’min yang dalam bersih-bersihnya, mereka mempunyai niat lillahi ta’ala, yang dengan adanya niat lillahi ta’ala di dalam dirinya, itu menunjukan bahwa mereka memiliki keimanan terhadap Alloh swt, karena bagaimana mereka bisa mempunyai niat lillahi ta’ala, kalau mereka tidak beriman kepada Alloh swt, sehingga dengan demikian, bersih-bersihnya seorang mu’min tersebut, yang di dasari dengan niat lillahi ta’ala, dan dibarengi dengan keikhlasan karena Alloh swt, itu diakui sebagian dari imannya, dan juga dijanjikan akan dibalas dengan ganjaran, karena bersih-bersih itu merupakan salah satu bentuk dari ibadah ghoir makhdhoh, yang sudah pasti apabila didasari dengan niat ikhlas lillahi ta’ala, maka akan menghasilkan ganjaran dari Alloh swt, tetapi berbeda jika bersih-bersih tersebut tidak dibarengi dengan niat ikhlas lillahi ta’ala, meskipun bersih-bersih tersebut timbul dari seorang mu’min, maka bersih-bersih tersebut, tidak akan menghasilkan ganjaran, karena Alloh swt tidak akan menerima dan memberi ganjaran atas amal seorang mu’min, baik itu amal berupa sholat, zakat, puasa, atau yang lainnya termasuk bersih-bersih, apabila tidak ada keikhlasan terhadap-Nya, saat di dalam amal tersebut, seperti yang disampaikan oleh Rosulalloh saw  “sesungguhnya Alloh swt tak akan menerima amal dari kalian kecuali amal tersebut di dasari dengan keikhlasan terhadap-Nya”  (HR mutafaq alaih).
Dan akhirnya bisa kita simpulkan dari penjelasan di atas, bahwa sesungguhnya kalau kebersihan itu, memang sebagian dari iman, karena yang di maksud dengan “kebersihan” dalam hadits di atas adalah kebersihan menurut syar’i, yang mempunyai membersihkan hati dari segala bentuk kemusyrikan terhadap Alloh swt, juga membersihkan hati dalam beribadah kepadaNya, dan juga membersihkan diri dari berbagai sifat yang tercela (an-nadzopatul bathin) ataupun membersikan diri dari hadats ataupun sebangsanya (junub), ataupun membersihkan kotoran dengan niat karena Alloh ta’ala (an-nadzopatul dzohir) bukan kebersihan menurut urfi yang mempunyai artia cuma sekedar bersih-bersih saja. Dan kebersihan seperti inilah (kebersihan menurut syar’i), baik itu dalam arti an-nadzopatul bathin ataupun an-nadzopatul dzohir, adalah maksud dari kata “kebersihan” yang terdapat dalam salah satu hadits Rosulalloh saw yang lain yang berbunyi :
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ الحديث (رواه مسلم).
Artinya : kebersihan merupakan salah satu juz dari iman (HR Muslim),
Dan an-nadzopatul bathin (kebersihan batin) ini lebih utama dari an-nadzopatul dzohir (kebersihan dzohir) Wallohu a’lamu bish-showab.

 https://darurabshor.wordpress.com/apakah-benar-kebersihan-itu-sebagian-dari-iman

3 komentar: